Kamis, 29 April 2010

JAMINAN PRODUK HALAL

I. PENDAHULUAN
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) memberikan dasar-dasar konstitusional bagi seluruh warga negara Indonesia dalam menjalani kehidupan, baik duniawi maupun ukhrowi. Dalam menjalankan hubungan manusia dengan manusia, setiap orang pada saat yang bersamaan tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh dengan Tuhan-Nya sebagaimana dijumpai secara maknawi dalam norma filosofis negara, Pancasila. Setiap warga negara Republik Indonesia dijamin hak konstitusional oleh UUD 1945 seperti hak asasi manusia, hak beragama dan beribadat, hak mendapat perlindungan hukum dan persamaan hak dan kedudukan dalam hukum, serta hak untuk memperoleh kehidupan yang layak termasuk hak untuk mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya yang dapat menjamin kualitas hidup dan kehidupan manusia.
Pangan dan produk lainnya yang ada di bumi baik melalui proses alamiah, mekanisme produksi, maupun melalui rekayasa genetik tidak dapat dikonsumsi secara bebas oleh manusia tanpa batas. Pembatasan tersebut bukan saja terhadap yang diharamkan, akan tetapi yang dihalalkanpun ada pembatasannya dari Allah SWT. Hal tersebut sejalan dengan ungkapan dengan maksud Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, Surat Al An'am ayat 141, maknanya dengan ungkapan "jangan berlebih-lebihan", dan makna Sabda Rasullullah SAW : " Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas". Karena itu, dalam memenuhi kebutuhan pangan dan produk lainnya, seseorang harus memenuhi juga tuntunan agama.
Umat Islam sangat berhati-hati dalam memilih dan membeli pangan dan produk lainnya yang diperdagangkan. Mereka tidak akan membeli barang atau produk lainnya yang diragukan kehalalannya. Masyarakat hanya mau mengkonsumsi dan menggunakan produk yang benar-benar halal dengan jaminan tanda halal/keterangan halal resmi yang diakui Pemerintah. Fenomena yang demikian pada satu segi menunjukkan adanya tingkat kesadaran terhadap pelaksanaan keyakinan menurut hukum Islam, dan pada segi yang lain mendorong timbulnya sensitivitas mereka ketika pangan dan produk lainnya bersentuhan dengan unsur keharaman atau kehalalannya.
Masalah halal dan haram bukan hanya merupakan isu yang sensitif di Indonesia, tetapi juga selalu mengusik keyakinan umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam di seluruh dunia amat berkepentingan atas jaminan halal tidak saja terhadap produk makanan, minuman, dan produk lainnya namun juga terhadap proses produksi serta rekayasa genetik. Terhadap produk dan rekayasa genetik dimaksud dibutuhkan respons normatif dari negara guna memenuhi kebutuhan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dan norma filosofis negara, Pancasila.
Sertifikasi dan penandaan kehalalan baru menjangkau sebagian kecil produsen di Indonesia. Data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tidak lebih dari 2.000 produk yang telah meminta pencantuman tanda halal. Data dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan bahwa permohonan sertifikasi halal selama 11 tahun terakhir tidak lebih 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia.
Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahan pangan diolah melalui berbagai teknik pengolahan dan metode pengolahan baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga menjadi produk yang siap dilempar untuk dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Sebagian besar produk industri pangan dan teknologi pangan dunia tidak menerapkan sistem sertifikasi halal.
Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional, internasional dan global, dikhawatirkan sedang dibanjiri pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.
Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN - AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO. Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-negara berpenduduk Islam termasuk Indonesia. Dalam perdagangan internasional tersebut “label/tanda halal” pada produk mereka telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar untuk memperkuat daya saing produk domestiknya di pasar internasional.
Respons positif terhadap kepentingan sertifikasi dan pencantuman tanda halal pada pangan dan produk lainnya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan secara parsial, tidak konsisten, terkesan tumpang tindih, dan tidak sistemik yang berkaitan dengan sertifikasi dan pencantuman tanda halal. Oleh karena itu pengaturan demikian belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksanaannya belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum kepada umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal. Bagi Republik Indonesia sebagai negara yang mempunyai bagian terbesar warga negara dan penduduk yang beragama Islam, memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum terhadap kehalalan pangan dan produk lainnya adalah conditio sine qua non.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, diperlukan upaya pengaturan dan penataan suatu proses penjaminan kehalalan pangan dan produk lainnya dalam suatu undang-undang yang mengatur tentang jaminan produk halal yang komprehensif, konsisten, sistemik, dan mampu memberikan kepastian hukum bagi adanya jaminan halal pada setiap pangan dan produk lainnya.
Pengaturan dalam undang-undang mengenai jaminan halal ini tidak akan berbenturan dengan sistem perekonomian nasional menurut Pasal 33 UUD 1945. Akan tetapi pengaturan semacam ini akan memberikan dukungan konstitusional dan yuridis bagi terciptanya pertumbuhan usaha yang sehat dalam kehidupan perekonomian nasional, dan menciptakan persaingan yang sehat pula bagi perdagangan nasional, regional, maupun global.

II. PEMBAHASAN :
Ababila menyebut tentang makanan yang terbayang dalam pikiran kita biasanya adalah wujud kemasan produk yang menarik, sehingga tidak dapat kita pungkiri bahwa kemasan makanan itu memainkan peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi minat beli masyarakat. Padahal bagi orang Islam sebenarnya ada satu faktor yang jauh lebih penting dari itu yaitu halal atau haram makanan tersebut, hal ini selaras dengan firman Allah :
”Makanlah sesuatu yang direzekikan oleh Allah kepada kamu dari yang halal lagi baik ”
Al-Maidah (5) : 58
Dalam menentukan suatu makanan itu haram atau halal yang dijadikan pedoman adallah Al-Quran dan Al-Sunnah. Dan yang perlu ditekankan adalah Islam mengajarkan umatnya memakan makanan yang bersih dan sehat. Islam menitikberatkan pada bahan, sumber dan kebersihan makanan, cara memasak, cara menghidangkan dan cara memakan makanan dan cara membuang sisa makanan.
Dan belakangan ini sedang dilakukan berbagai upaya untuk melakukan pemeriksaan, pemantauan, pelabelan serta penerapan sistem jaminan halal untuk menggalakkan industri halal. Dan pemerintah dalan hal ini BP POM bekerja sama dengan MUI mengambil peranan yang sangat penting dalam hal ini.
2.1. Konsep Halal Secara Umum
Yang dimaksud dengan halal adalah suatu perkara atau perbuatan yang dibenarkan menurut hukum syarak dan sebaliknya yang dimaksud dengan haram adalah suatu perkara atau perbuatan yang bertentangan menurut hukum syarak. Perlu kita ketahui bersama bahwa halal adalah suatu konsep yang bukan saja digunakan untuk makanan tetapi juga dari segi pemakaian, perlindungan, ekonomi dan di dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam hal makanan, setiap muslin perlu untuk memastikan bahwa apa yang dimakan adalah dari sumber yang halal, bahkan mereka juga perlu memeriksa juga kehalalan bahan yang digunakan. Selain itu mereka juga harus memeriksa cara yang digunakan dalam menghasilkan makanan tersebut serta proses yang dilalui dalam menghasilkannya adalah tidak bertentangan dengan hukum syarak. Air yang digunakan juga diperiksa kesuciannya dan yang terakhiryang juga penting untuk diperhatikan adalah memeriksa juga tempat penyimpanan makanan tersebut.
Boleh dikatakan semua muslim sudah mengetahui apa saja makanan yang diharamkan baginya, tapi tidak semua mengetahui tentang proses produksi suatu makanan. Dalam proses produksi suatu makanan kebanyakan pengguna tidak dapat lari dari meggunakan bahan-bahan tambahan dalam makanan yang kebanyakan adalah berasal dari import. Bahan tambahan ini pastilah diperoleh dari berbagai macam bahan baku, ada yang dari hewan dan ada yang dari tunbuh-tumbuhan. Jika sumbernnya adalah dari tumbuhan maka jarang yang meragukan status kehalalannya. Yang menjadi masalah utama adalah jika bahan tersebut sumbernya berasal dari hewan. Terdapat kumpulan hewan-hewan yang tidak dibenarkan untuk dimakan menurut mazhab Syafi’i diantaranya adalah babi, anjing, binatang yang bertaring, dan bergading, binatang yang beracun, binatamg yang hidup di dua alam, banngkai, binatang yang hanya memakan najis dan sebagainya. Yang pasti jika sumbernya adalah dari hewan yang diharamkan, maka ia adalah jelas-jalas haram. Begitu juga jika hewan tersebut adalh hewan yang halal untuk dimakan tetapi cara penyembelihannya adalah tidak mengikuti aturan syarak maka ia tetap menjadi haram untuk dimakan.
Dan oleh karena sulitnya untuk memeriksa kehalalan sumber makanan ini secara keseluruhan maka masyarakat muslim terpaksa bergantung pada suatu lembanga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemeriksaan untuk memutuskan apakah makanan tersebut halal untuk dimakan atau tidak. Apabila lembaga ini memutuskan kehalalan suatu makanan maka seharusnya masyarakat muslim ragu lagi.
2.2. Sistem Jaminan Halal Dari Lembaga Pengkajian Pangan,Obat-Obatan Dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
Untuk meyakinkan bahwa produknya halal, produsen mengajukan sertifikasi produsen mengajukan sertifikasi halal produknya pada pada LP POM MUILP POM MUI. Sertifikat Halal yang yang dikeluarkan dikeluarkan LP POM MUI , LP POM MUI, berlaku hanya untuk 2 tahun.
Yang jadi pertanyaan bagi kita sekarang adalah :
  1.  Dapatkah dijamin bahwa produsen tidak melakukan perubahan bahan baku, atau ingredient selama masa sertifikat berlaku

  2. Siapakahyang dapat mengontrol bahwa produknya tidak tercemar bahan-bahan najis dan/atauharam?

  3. Jika terjadi perngembangan produk, bagaimanakah cara memilih bahan baku baru yang akan dipakai?
 2.3. Sistem Jaminan Halal

  1. Sistem Jaminan Halal adalah sistem yang mencakup struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur, aktivitas, kemampuan dan sumber daya yang ditujukan untuk menjamin bahwa proses produksi dan produk yang dihasilkan adalah halal. 

  2. Sistem Jaminan Halal merupakan kebijakan perusahaan untuk selalu menjaga status kehalalan produknya.

  3. Sistem Jaminan Halal harus didokumentasikan secara mandiri (terpisah dengan sistem mutu lain)

  4. Sistem ini hendaknya disosialisasikan kepada seluruh karyawan dilingkungan perusahaan, tidak hanya dilakukan oleh pihak manajemen saja.

  5. Sistem Jaminan Halal merupakan prasyarat dalam proses sertifikasi halal. 
2.4. Komponen Sistem Jaminan Halal (SJH)
Sistem Jaminan Halal ini mempunyai 6 Komponen dimana semua komponen diuraikan secara tertulis dan didokumentasikan dalam sebuah Panduan Halal (Halal Manual), dan dirinci secara teknis dalam bentuk SOP dan Instruksi Kerja. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan Halal
2. Sistem Manajemen Halal
3. Sistem Audit Internal
4. Titik Kritis Keharaman Produk
5. Halal Guidelines
6. Sistem Dokumentasi
1. Kebijakan halal
Kebijakan halal ini merupakan komitmen perusahaan untuk memproduksi produk halal secara konsisten. Kebijakan halal mencakup tujuan, sumber daya yang digunakan, komitmen untuk menerapkan Sistem Jaminan Halal secara kontinu, serta alasan pimpinan menerapkan Sistem Jaminan Halal.
Kebijakan halal ini juga mencakup uraian mengenai kebijakan perusahaan tentang produksi dalam hal ini dijelaskan secara rinci apakah perusahaan hanya memproduksi produk halal atau sebagian saja memproduksi produk halal.
Kebijakan halal meliputi kebijakan umum dan kebijakan tiap departemen dalam mendukung produksi halal serta yang tidak kalah penting adalah kebijakan halal harus dikomunikasikan dan dipahami oleh seluruh karyawan dan bukan hanya dipahami oleh pihak manajemen perusahaan saja.
Konsistensi produksihalaldijabarkan dalam konsistensi seluruh proses produksi dan penggunaan bahan (bahan baku, tambahan dan penolong). Bahan yg digunakan harus dipilih berdasarkan prosedur pemilihan bahan yg ditetapkan LP POM MUI. Sedangkan prosedur pemilihan bahan dimulai dari :
1) prosedur penetapan titik kritis bahan, kemudian
 2) prosedur penetapan status bahan
Peralatan yang dipakai untuk produksi halal tdk boleh dipakai untuk produksi non-halal yg secara tegas mengandung babi. Untuk selanjutnya kebijakan halal pada tingkat departemen ini dijabarkan secara rinci dalam prosedur serta menyebutkan penanggung jawab pelaksanaan kebijakan tersebut.
Gambar prosedur Penetapan Status Bahan

Gambar prosedur Penetapan titik Kritis Bahan



















• Bahan dalam kategori Daftar bahan yg dapat dipakai sebelum diimplementasikan harus disyahkan terlebih dahulu oleh LP POM MUI
• Bahan dalam Kategori Daftar Bahan yg tidak dapat dipakai tidak  boleh ada di areal pabrik
• Bahan yg dapat dipakai harus dilengkapi dokumen pendukung spesifikasi bahan, surat rekomendasi atau sertifikat halal dari  Lembaga Sertifikasi Halal luar negeri yang direkomendasi LP POM MUI
• Bahan yg melalui proses verifikasi LP POM MUI dilengkapi dengan rekomendasi, LP POM MUI, sedangkan bahan yg melalui sertifikasi halal dilengkapi dengan sertifikat halal MUI.

2. Sistem Manajemen Halal
• Sistem Manajemen Halal merupakan sistem yang mengelola seluruh fungsi dan aktifitas manajemen dalam menghasilkan produk halal
• Struktur organisasi yang terlibat mencakup perwakilan manajemen puncak, QA, QC, purchasing, R&D, produksi, dan pergudangan,
• Sistem Manajemen Halal di pimpin oleh seorang Auditor HalalInternal (AHI).
3. Struktur Organisasi Manajemen Halal

Keterangan :
1. Auditor Halal Internal (AHI) :
• Auditor Halal Internal (AHI) merupakan orang/tim yang teroganisir dilingkungan perusahaan yang dapat melakukan audit secara langsung di perusahaan terhadap semua bidang yang berkaitan dengan produksi halal
• Auditor Halal Internal (AHI) ini berasal berasal dari bagian yang terlibat dalam proses produksi, seperti purchasing, R&D, QA/QC, produksi, dan pergudangan
• Auditor Halal Internal (AHI) bertugas dan bertanggung jawab mengkoordinasikan proses implementasi SJH yg telah ditetapkan perusahaan
• Auditor Halal Internal (AHI) memonitor proses produksi halal secara menyeluruh mulai dari pemilihan bahan sampai produk jadi.
• Memahami titik kritis keharaman produk, ditinjau dari bahan maupun proses produksi secara keseluruhan
• Mengarsipkan dan memperbaharui dokumen-dokumenyangterkait dengan produksi halal
• Melakukanaudit internalserta membuat laporannya secara berkala kepadaLP POM MUI
Tugas dan Tanggung Jawab AHI
• Melakukan tindakan koreksi terhadap suatu kesalahan, termasuk menghentikan proses produksi sementara sampai terjadi perbaikan. (kewenangan !!!)
• Menjalin hubungan dengan LPPOM MUI melalui pertemuan rutin atau komunikasi langsung untuk mengkonsultasikan masalah halal-haram atau adanya perubahan bahan yang digunakan dalam produksi halal.
• Koordinator AHI harus orang muslim yang mengerti dan menjalankan syariat Islam.
2. Sistem Audit Internal
Sistem Audit Internal diperlukan untuk:
a. Mengevaluasi kesesuaian sistem dengan yang telah disyaratkan LP POM MUI
b. Mengevaluasi efektivitas Sistem Jaminan Halal yang diterapkan.
c. Verifikasi ketidaksesuaian sistem dengan yang telah disepakati
Seluruh komponen Sistem Jaminan Halal diaudit dan dievaluasi internal secara berkala. Kemudian Hasil audit dan evaluasinya dilaporkan kepada LP POM MUI
3. Titik Kritis Keharaman Produk
1. Identifikasi bahan-bahan haram dan najis ( Prosedur Penetapan Titik Kritis bahan)
2. Identifikasi titik-titik kritis dalam tahapan produksi (Prosedur Penetapan Pemakaian Alat produksi)
3. Penentuan prosedur monitoring
4. Penentuan prosedur koreksi
5. Penentuan sistem dokumentasi
6. Penentuan prosedur verifikasi
Prosedur Penetapan Pemakaian Alat Produksi






















4. Halal Guideline 
  1. HalalGuideline dibutuhkan untuk membantu Auditor HalalInternal memilih bahan yang akan digunakan serta menetapkan prosedur pemakaian alat produksi.
  2. Halal Guideline mencakup ketentuan umum pangan halal serta prosedur standard produksi pangan halal
  3. Produsen harus memiliki Halal Guideline yang mengacu kepada ketentuan halal yang ditetapkan MUI.
  4. Halal Guidline yang dibuat perusahaan mencakup standard halal yg berkaitan dengan produksi halal di perusahaan yg bersangkutan

 5. Sistem Dokumnetasi

 Sinstem Dokumentasi ini meliputi :

 Sistem Dokumentasi Pembelian
 Sistem Dokumentasi Penggunaan Bahan Baku
 Sistem Dokumentasi R&D (Formulasi)
 Sistem Dokumentasi Produksi
 Sistem Dokumentasi Pergudangan
 Sistem Dokumentasi Verifikasi (laporan berkala)
 Sistem Dokumentasi Tindakan Koreksi (jika ada)

Sistem Dokumnetasi Harus yang ditetapkan harus dapat menjelaskan asal-usul bahan baku yang dipakai (Spesifikasi of origin) serta harus juga dapat digunakan untuk menelusuri penggunaan bahan baku untuk tiap jenis produk (per item, per suplier)

2.5. Standard Operating Procedure (SOP)

 Standard Operating Procedure (SOP) merupakan bentuk penjabaran teknis dari Halal Manual. 
  1. SOP Purchasing antara lain mencakup:
  2. Prosedur penentuan/penggantian supplier bahan baku
  3. Peranan AHI dalam penentuan supplier bahan baku
  4. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh supplier berkaitan dengan produksi halal (misalnya : sertifikat halal, spesifikasi produk, dll)

 2. SOP R &D antara lain mencakup :  
  1. Prosedur penetapan perubahan formula
  2. Prosedur pengembangan produk 
3. SOP QA/QC antara lain mencakup :

 Prosedur penerimaan bahan baru
SOP Produksi antara lain mencakup :
  1. Prosedur sanitasi alat-alat produksi 
  2. Prosedur penggunaan alat untuk produksi halal 
  3. Prosedur penggunaan personal untuk produksi halal 
SOP Penggudangan antara lain mencakup :

  1.   Prosedur penerimaan dan penempatan bahan baku atau bahan jadi
2.6. RUU Jaminan Produk Halal

Pada saat tulisan ini dibuat, RUU Jaminan Produk Halal sedang dalam pembahasan tahap akhir di DPR. Padahal RUU ini belum dipahami secara meluas oleh masyarakat, dan bahkan menimbulkan kontroversi. Kalangan pengusaha yang diwakili oleh Kadin (Kamar Dagang dan Industri) menyatakan “RUU ini berpotensi merugikan dunia usaha, terutama bagi segmen usaha mikro kecil dan menengah.” (KOMPAS, 25/8’09).  
Rancangan Undang-undang Produk Halal merupakan wujud peran negara dalam melindungi rakyat Indonesia. Sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Landasan ini juga dipertegas dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni pada pasal (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pemunculan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal ini tentunya merupakan ‘’kebijakan’’ yang diambil (ditempuh) oleh negara (melalui lembaganya atau pejabatnya) untuk menetapkan hukum yang mana yang perlu diganti, atau perlu diubah, atau hukum yang mana yang perlu dipertahankan, atau hukum mengenai apa yang perlu diatur atau dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggaraan negara atau pemerintahan dapat berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan negara (seperti mensejahterahkan rakyat) secara bertahap dan terencana dapat terwujud (Saragih ; 2006 : 18).
Pengaturan tentang kehalalan suatu produk sebenarnya telah ada dalam undang-undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tapi kesemuanya belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum kepada umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal.
Selama ini upaya pemerintah dan produsen untuk melindungi umat dari mengkonsumsi produk yang tidak halal dan untuk mendukung hak informasi konsumen agar mengetahui kehalalan produk sudah berjalan dengan baik, yaitu melalui Sertifikasi Halal dari MUI dan dengan mencetak langsung tanda halal pada label produk.
Peraturan-peraturan yang ada saat ini yaitu UU No 7/1996 tentang Pangan, PP No 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah dengan jelas mengatur cara pencantuman tanda (tulisan) halal berikut sanksi hukum yang jelas.
Namun demikian, tidak terjadi ketidaksingkronan antara UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Dalam PP tidak disebutkan tanda label halal padahal di UU ini disebutkan. Hal inilah yang perlu diperbaiki. PP tersebut harus dilakukan revisi agar sesuai dengan payung hukum yang telah ada.
Demikian juga dengan peraturan teknis terkait yang dikeluarkan oleh Menteri. Peraturan Menteri (Permen) yang dibuat harus diperbaiki dan mengacu pada perundang-undangan telah ada. Sehingga terdapat aturan yang dapat ‘’memaksa’’ pelaku usaha untuk pencantuman label ‘’halal’’ pada produk yang dikeluarkannya terutama untuk produk makanan yang tidak dalam kemasan.
Secara teknis tentang pencantuman label ‘’halal’’ Departemen Kesehatan (Depkes) telah mengeluarkan SK No : 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Dalam lampiran SK tersebut yakni pada Bab V tentang Persyaratan Higiene Pengolahan telah dijelaskan aturan-aturan baku dalam proses pembuatan makanan halal dan persyaratan higiene pengolahan makanan menurut syariat Islam
Menteri Kesehatan juga mengeluarkan No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan ‘’Halal’’ pada Label Makanan pada pasal 8 disebutkan Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan ‘’Halal’’ wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk Direktur Jenderal.
Pada pasal 10 ayat 1 Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 8 dan hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud Pasal 9 dilakukan evaluasi oleh Tim Ahli Majelis Ulama Indonesia. Ayat 2, Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat 1 disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memperoleh Fatwa. Ayat 3, Fatwa MUI sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan.
Pasal 11, Persetujuan pecantuman tulisan ‘’Halal’’ diberikan berdasarkan Fatwa dari Komisi Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya pada pasal 12 ayat 1 diatur Berdasarkan Fatwa dari MUI, Direktur Jenderal (Dirjen) memberikan :
a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat ‘’HALAL’’. 
b. Penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat ‘’HALAL’’. 
Pada ayat (2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan penolakan. Selanjutnya pada pasal 17 diatur Makanan yang telah mendapat persetujuan pecantuman tulisan ‘’Halal’’ sebelum ditetapkan keputusan ini, harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam keputusan ini selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya keputusan ini.
Jadi dari aturan-aturan yang telah ditetapkan maka seharusnya RUU Jaminan Produk Halal menjadi penyempurna dan mempertegas aturan-aturan yang telah ada namun tidak dapat berjalan dengan optimal karena terbentur berbagai kendala. Terutam ketidaksingkronan antara Undang-undang dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana yang terjadi pada antara UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Selanjutnya, RUU Produk Halal dalam peraturannya menjadi lemah dikarenakan keluarnya PP yang mengatur RUU tersebut. Hal ini sama seperti nasib UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Sebab dalam RUU tersebut masih disebutkan adanya PP yang mengatur secara teknis pelaksanaan RUU tentang Jaminan Produk Halal. 
Kelemahan RUU Produk Halal 
RUU tentang Jaminan Produk Halal juga mempunyai kelemahan dalam aspek biaya. Dengan adanya RUU ini Pemerintah dinilai telah mengeluarkan suatu kebijakan yang menimbulkan high cost economy dan merugikan kepentingan nasional. RUU dinilai akan menambah beban biaya bagi pelaku usaha. Paling tidak, pelaku usaha harus menanggung sertifikat halal yang diatur dalam pasal 19 RUU tentang Jaminan Produk Halal.
Dalam pasal 18 RUU tentang Jaminan Produk Halal disebutkan, pelaku usaha mengajukan permohonan kepada Menteri Agama untuk mengajukan sertifikat halal. Surat permohonan itu dilengkapi lampiran mengenai data perusahaan, nama dan jenis produk yang digunakan; dan proses pengolahan produk secara singkat.
Hal ini tentunya akan menghilangkan peran LP POM MUI sebagai lembaga lembaga sertifikasi halal paling standar dan terbaik di dunia dengan pengalamannya selama 20 tahun. Terbukti barubaru ini 11 lembaga sertifikasi dari 11 negara di Asia, Australia, Eropa dan AS telah belajar soal sertifikasi halal, bahkan standar sertifikasi halalnya telah diikuti dan digunakan di berbagai negara. Sedangkan tahun lalu sebanyak 100 peserta dari berbagai negara mengikuti pelatihan sertifikasi halal di LPPOM MUI. (Dr Tjipto Subadi MSi).
Selanjutnya terjadi resistensi atau penolakan masyarakat saat RUU ini akan dikeluarkan. Ini menunjukan para penyelenggara negara tidak menarik atau merumuskan nilai-nilai dan aspirasi itu dalam bentuk tertulis sehingga lembaga negara tidak peka terhadap kedua hal tersebut. Meminjam istilah Teuku Mohammad Radhie, idealnya adalah legal framework,yaitu sebuah kerangka umum yang memberikan bentuk dan isi dari dari hukum suatu negara, (Radhie ; 1997: 211) bukan lembaga genuine dari berbagai kepentingan. Di dalam lembaga – lembaga negara itu berkumpul berbagai kelompok kepentingan yang terkadang lebih mementingkan aspirasi kelompoknya daripada aspirasi masyarakat secara umum. Adanya resistensi ini juga menunjukan subsistem politik lebih powerful dibandingkan subsistem hukum. Artinya, subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar dari pada subsistem hukum.( Satjipto Rahardjo ; 1983 : 71).
Menurut Mochtar Kusumaatmaja proses pembentukan perundang-undangan harus dapat menampung semua hal yang erat hubungannya (relevant) dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan undang-undang itu, apabila perundang-undangan hendak merupakan suatu pengaturan hukum efektif. Efektifnya produk produk perundang-undangan dalam penerapannya memerlukan perhatian akan lembaga dan prosedur-prosedur yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Produk hukum yang menjauhkan tata hukum dengan realita masyarakat, umumnya selalu menimbulkan ketegangan antara positivitas dengan masyarakat, karena ruling class hanya ingin mempertahankan kekuasaannya atau memupuk (mengkonsentrasikan) kekuasaan pemerintahan itu di tangannya sendiri sedang kepentingan sosial (masyarakat umum) diabaikannya. Dengan demikian perlu adanya perbaikan-perbaikan dalam produk hukum yang telah ada dan berlaku di masyarakat saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ester I. Jusuf, SH, 2009, Potensi Masalah di Balik RUU Jaminan Produk Halal, www.snb.or.id
Zalina Binti Zakaria, 2004, Keberkesanan Undang-undang Makanan dan Produk Halal di Malaysia, Jurnal Syariah, 12 : 2 (2004) 95-106
Tim LP POM , Sisten Jaminan Halal, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI
Badan Pembinaan Hukum Nasional, RUU Produk Halal, http://www.halalguide.info/content/view/957/1/